Nkimatnya dan Berkah Tajin Sappar
PAMEKASAN – Bulan Safar atau Sappar dalam Bahasa Madura, dalam kalender Hijriyah memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Madura secara spiritual. Membuat sajian bubur (tajhin) di bulan ini merupakan wujud pengharapan berkah untuk menghindari mara bahaya. Hampir sebagian besar di rumah-rumah warga berama-ramai membuatnya lalu disedekahkan kepada tetangga sekitarnya. Bubur ini merupakan rangkaian dari bulan sebelumnya yaitu bulan Muharram yang orang-orang juga membuat bubur yang dikenal dengan tajhin sora.
Bubur ini bisa dibilang unik karena tidak seperti bubur pada lazimnya. Jika biasanya bubur terbuat dari beras yang dimasak hingga lunak sekali, kali ini dibuat dengan tepung beras atau ketan dengan campuran santan. Bubur ini dibagi menjadi dua rasa, yang pertama bubur dengan rasa manis dan kedua dengan rasa yang sedikit asin. Untuk memberikan aneka sajian yang lebih beragam, kedua bubur tersebut diolah dengan warna yang berbeda pula. Untuk yang manis berwarna merah, warna khas hasil campuran warna gula merah. Sedangkan untuk yang agak asin dibiarkan berwarna putih. Selain itu terdapat bola-bola kecil di dalamanya atau yang disebut candil untuk memberikan rasa gurih ketika disantap.
Jika sudah matang, bubur dwirasa dan dwiwarna ini disajikan di atas piring dengan dilapisi daun pisang serta siraman kuah santan siap dihidangkan dalam keadaan hangat apalagi dinikmati di musim hujan seperti sekarang.
Hanya sebulan dalam setahun tajhin sappar ini bisa ditemui dan dinikmati. Resep leluhur yang tetap bertahan secara turun-temurun membuat bubur ini tak pernah berubah rasa. Kehangatan rasa yang bermakna dalam untuk menjalani bulan Safar dengan penuh berkah. (bad) (Ralitafm.com)
Bubur ini bisa dibilang unik karena tidak seperti bubur pada lazimnya. Jika biasanya bubur terbuat dari beras yang dimasak hingga lunak sekali, kali ini dibuat dengan tepung beras atau ketan dengan campuran santan. Bubur ini dibagi menjadi dua rasa, yang pertama bubur dengan rasa manis dan kedua dengan rasa yang sedikit asin. Untuk memberikan aneka sajian yang lebih beragam, kedua bubur tersebut diolah dengan warna yang berbeda pula. Untuk yang manis berwarna merah, warna khas hasil campuran warna gula merah. Sedangkan untuk yang agak asin dibiarkan berwarna putih. Selain itu terdapat bola-bola kecil di dalamanya atau yang disebut candil untuk memberikan rasa gurih ketika disantap.
Jika sudah matang, bubur dwirasa dan dwiwarna ini disajikan di atas piring dengan dilapisi daun pisang serta siraman kuah santan siap dihidangkan dalam keadaan hangat apalagi dinikmati di musim hujan seperti sekarang.
Hanya sebulan dalam setahun tajhin sappar ini bisa ditemui dan dinikmati. Resep leluhur yang tetap bertahan secara turun-temurun membuat bubur ini tak pernah berubah rasa. Kehangatan rasa yang bermakna dalam untuk menjalani bulan Safar dengan penuh berkah. (bad) (Ralitafm.com)
Post a Comment