Ini Alasan Kenapa Niat Harus Nyambung Dengan Rukun Lainnya
Niat adalah Rukun Ibadah
Dalam madzhab Imam al-Syafi'i, niat memang harus di awal dan nyambung dengan rukun selanjutnya. Itu dalam semua ibadah kecuali puasa. Shalat misalnya, datangnya seseorang ke masjid dari rumah tidak bisa dikategorikan sebagai niat dalam madzhab ini, karena niat adalah rukun bukan syarat.
Karena ia rukun, maka posisinya tidak boleh ada jeda antaranya dengan rukun selanjutnya. Dalam shalat, rukun setelah niat adalah takbiratul ihram, maka tidak boleh ada jeda antara niat dan takbiratul ihram. Begitu juga dalam wudhu, rukun pertamanya adalah niat, maka niat tidak boleh berpisah dengan rukun selanjutnya, yaitu membasuh muka.
Itu yang disebut dengan al-Muwalah, yang berarti bersambungan, yang merupakan syarat sahnua rukun. Maka kalau ada rukun dilaksanakan terpisah dengan rukun lainnya dalam satu ibadah, batal ibadah tersebut. Dan ini -Muwalat dalam rukun- twlah disepakati oleh ulama sejagad raya.
Hanya saja pandangan bahwa niat adalah rukun itu hanya milik madzhab Imam al-Syafi'i, madzhab lain memandang niat itu bukan rukun, melaikan syarat dalam ibadah. Karena itu syarat maka tidak diharuskan adanya muwalat. Karena syarat bukan bagian dari ibadah tersebut, sedangkan rukun itu bagian dari ibadah tersebut.
Karena itu pula, Imam Ibn Taimiyah dari kalangan al-Hanabilah mengatakan bahwa berangkatnya orang ke masjid untuk shalat itu juga terhitung niat. Karenanya, tidak perlu lagi niat ketika memulai takbiratul ihram. Begitu juga dalam wudhu, tidak diharuskan berniat di sebelum membasuh muka, akan tetapi datangnya ia ke temlat wudhu, itu adalah niat.
Jadi itu kenapa madzhab al-Syafi'i mewajibkan niat dibarengi di awal ibadah, karena memang itu rukun ibadah bukan syarat ibadah yang boleh terpisah dari ibadah tersebut. Ini berangkat dari hadits Nabi: "Innama al-A'mal bi an-Niyyat" ( setiap amal itu dengan niat ), niat diharuskan ada dalam setiap amal, berarti itu bagian dari ibadah.
Wallahu a'lam
Oleh : Ust. Ahmad Zarkasih
Dalam madzhab Imam al-Syafi'i, niat memang harus di awal dan nyambung dengan rukun selanjutnya. Itu dalam semua ibadah kecuali puasa. Shalat misalnya, datangnya seseorang ke masjid dari rumah tidak bisa dikategorikan sebagai niat dalam madzhab ini, karena niat adalah rukun bukan syarat.
Karena ia rukun, maka posisinya tidak boleh ada jeda antaranya dengan rukun selanjutnya. Dalam shalat, rukun setelah niat adalah takbiratul ihram, maka tidak boleh ada jeda antara niat dan takbiratul ihram. Begitu juga dalam wudhu, rukun pertamanya adalah niat, maka niat tidak boleh berpisah dengan rukun selanjutnya, yaitu membasuh muka.
Itu yang disebut dengan al-Muwalah, yang berarti bersambungan, yang merupakan syarat sahnua rukun. Maka kalau ada rukun dilaksanakan terpisah dengan rukun lainnya dalam satu ibadah, batal ibadah tersebut. Dan ini -Muwalat dalam rukun- twlah disepakati oleh ulama sejagad raya.
Hanya saja pandangan bahwa niat adalah rukun itu hanya milik madzhab Imam al-Syafi'i, madzhab lain memandang niat itu bukan rukun, melaikan syarat dalam ibadah. Karena itu syarat maka tidak diharuskan adanya muwalat. Karena syarat bukan bagian dari ibadah tersebut, sedangkan rukun itu bagian dari ibadah tersebut.
Karena itu pula, Imam Ibn Taimiyah dari kalangan al-Hanabilah mengatakan bahwa berangkatnya orang ke masjid untuk shalat itu juga terhitung niat. Karenanya, tidak perlu lagi niat ketika memulai takbiratul ihram. Begitu juga dalam wudhu, tidak diharuskan berniat di sebelum membasuh muka, akan tetapi datangnya ia ke temlat wudhu, itu adalah niat.
Jadi itu kenapa madzhab al-Syafi'i mewajibkan niat dibarengi di awal ibadah, karena memang itu rukun ibadah bukan syarat ibadah yang boleh terpisah dari ibadah tersebut. Ini berangkat dari hadits Nabi: "Innama al-A'mal bi an-Niyyat" ( setiap amal itu dengan niat ), niat diharuskan ada dalam setiap amal, berarti itu bagian dari ibadah.
Wallahu a'lam
Oleh : Ust. Ahmad Zarkasih
Post a Comment