Header Ads

stop peredaran rokok ilegal

29 Oktober Hari Psoriasis Dunia, Apa Psoriasis?

Tanggal 29 Oktober adalah “Hari Psoriasis Dunia”, namun buat sebagian orang Psoriasis tidak dikenal. Psoriasis adalah penyakit autoimun (sistim kekebalan yang menyerang tubuh sendiri), bersifat menahun dan berulang, yang ditandai dengan bercak bercak kemerahan pada kulit yang berbatas tegas dengan sisik kasar, berlapis lapis dan transparan yang dapat menyerang berbagai usia, pria maupun wanita tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi.

Meski penyakit ini relatif tak dikenal, namun di Indonesia prevelansi penderitanya cukup besar, yakni 1-3 persen dari seluruh populasi. Ini berarti ada sekitar 2-6 juta penderita. Meski tidak mematikan dan tidak menular, namun pastinya menurunkan kualitas hidup penderitanya, bahkan Psoriatic Arthritis dapat menyebabkan cacat permanen seumur hidup.

Psoriasis adalah penyakit yang jauh lebih dalam dari hanya sekedar penyakit kulit yang gatal-gatal saja dan merah-merah disekujur tubuh pasien. Jika psoriasis hanya pada lengan dapat dikatakan ringan dan hanya masalah kecil, namun banyak sekali yang tidak tahu jika psoriasis adalah penyakit yang sangat menjengkelkan, menyedihkan bahkan menjadikan pasien putus asa jika terjadi kekambuhan dari tingkat sedang hingga parah ke seluruh tubuh.

Punggung atau bagian tubuh lainnya hampir tertutup dengan kulit merah bersisik, demikian juga dari kaki, bokong, paha, tangan, leher, telinga dan kulit kepala. Rasa gatal dan perih saat kambuh membuat pasien akan sangat menderita.

Saat kondisi kulit sangat kering (over dry), ketika akan melakukan kegiatan, lutut atau betis serta lengan penderita psoriasis akan sulit digerakkan bukan karena nyeri namun karena kulit yang menebal dan bersisik menyebabkan gerakan seperti terhambat sulit digerakan bagaikan kulit ditempeli lakban bahkan sering terjadi kulit yang kering tersebut pecah/merekah dan berdarah.

Membuat minder
Kondisi tersebut tak jarang membuat para penderita psoriasis menjadi minder, malu dan hilang kepercayaan diri, misalnya dalam hal berpakaian atau kegiatan di luar rumah yang membutuhkan pakaian yang minim seperti berenang, olah raga, baju lengan pendek dan rok bagi penderita wanita. Belum lagi serpihan kulit mengelupas yang berjatuhan mengotori pakaian dan lingkungan di sekitar penderita beraktivitas, sungguh membuat malu dan tidak sedap dipandang orang sekitarnya.

Para penderita psoriasis sendiri lebih suka menyembunyikan kelainan kulitnya dengan pakaian yang menutupi bagian tubuh yang terkena. Bahkan pada psoriasis yang menyerang wajah atau bagian yang tidak bisa ditutupi lagi, penderita akan malu dan enggan beraktivitas keluar rumah dan bertemu dengan orang-orang. Hal ini pula yang membuat psoriasis tidak dikenal dan diketahui orang, sehingga diperlukan lebih banyak sosialisasi tentang psoriasis di tengah masyarakat utamanya yang menegaskan bahwa penyakit ini tidak menular.

Dalam diskusi penderita di Yayasan Peduli Psoriasis Indonesia (YPPI) ditemukan beberapa kasus diskriminasi di dunia kerja terhadap penderita psoriasis, dimana penderita diberhentikan dari pekerjaannya karena bagian tubuhnya yang terlihat seperti lengan dan wajah tampak bercak-bercak merah bersisik. Seharusnya hal ini tidak boleh terjadi. Psoriasis adalah penyakit kulit yang tidak menular, sekali lagi tidak menular.

Tidak ada sebuah kasus psoriasis yang terjadi karena kontak dengan penderita psoriasis lain misalnya berjabat tangan dan berpelukan. Psoriasis adalah kelainan genetik dan autoimun (sistim kekebalan yang menyerang tubuh sendiri) bukan penyakit infeksi apalagi menular. Jika masyarakat paham akan hal ini, kejadian menyakitkan seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi. Tidak layak seorangpun dikeluarkan dari pekerjaannya karena kulitnya menderita psoriasis.

Hingga saat ini penyebab psoriasis belum diketahui dengan pasti, namun didapati banyak faktor pencetusnya misalnya stres psikik, infeksi fokal (infeksi di bagian tubuh tertentu misalnya tonsilitis/radang amandel), trauma, gangguan endokrin, gangguan metabolik, pemakaian obat obatan tertentu, alkohol dan merokok. Jadi walaupun pasien serius berobat dan ingin sembuh, psoriasis akan selalu kembali atau hilang-timbul seumur hidup sejak pertama tercetus.

Sungguh ironis karena banyak penderita psoriasis yang tidak terdiagnosa dan tertangani secara medis karena kemiskinan dan ketidaktahuan, seperti pada kasus manusia bersisik yang kita ketahui dari pemberitaan di media massa misalnya Achmad Yunus di Karawang (Kompas.com 30 Juni 2009), Yusdika di Malang (Kompas.com 11 Maret 2009) dan Melissa di Palangkaraya (Kompas.com 21 Mei 2009) .

Rasa frustasi karena penyakit yang tidak mau remisi ataupun sembuh dengan cara apapun kadang bisa menyebabkan penderita depresi hingga penderita putus asa bahkan ingin bunuh diri. Jadi yang dihadapi penderita psoriasis tidak hanya sebatas gangguan klinis pada fisiknya saja, namun juga psikis atau mentalnya ikut menderita. Itu sebabnya kami menghimbau para penderita psoriasis jangan apatis akan penyakitnya namun berusahalah mencari dukungan selain tentunya melakukan pengobatan dengan bijaksana.

dr. Valy Ongan, Wakil Ketua Yayasan Peduli Psoriasis Indonesia (KOMPAS.com )

Tidak ada komentar